Jumat, 02 Januari 2009

Menumbuhkan Budaya Menghargai Siswa

Menumbuhkan Budaya Menghargai Siswa

Menghargai dan menyayangi adalah dua ekspressi emosi yang selalu patut ditujukan oleh orang tua kepada anak dan oleh guru kepada siswanya selalu. Dua ungkapan ekspressi emosi ini amat tulus diberikan oleh orang tua yang punya bayi dan balita. Perasaan sayang dan dihargai yang diterima oleh anak membuat mereka selalu bersemangat untuk melaksanakan aktivitas yang tidak henti- hentinya dalam menjalani proses pertumbuhan mereka. Masa bayi dan balita yang merupakan masa emas, karena pada masa ini syaraf- syaraf berkembang pesat, dan pada saat yang sama orangtua memberikan pelayanan unggul dalam mendidik mereka, yaitu mendidik dan membesarkan yang penuh dengan senyum, kehangatan, sentuhan dan kata- kata positif.

Mendidik anak dengan pelayanan prima masih diterima oleh anak mereka berada di bangku taman kanak-kanak dan berlanjut sampai kelas satu atau kelas dua SD. Pada saat ini orang tua di rumah masih memperlihatkan pribadi yang hangat pada anak di rumah. Di sekolah , di TK dan di SD (kelas satu dan kelas) dua guru- guru pun masih mendidik anak dengan penuh senyum, penuh sabar dan ramah tamah .

Mendidik dengan pelayanan ramah tamah- menghargai dan menyayangi- dari guru kepada siswa memberikan yang menakjubkan. Inilah alasanya kalau dalam usia ini mampu merekam pembelajaran dengan hasil yang bagus. Namun apabila ada yang beralasan bahwa dalam usia ini, daya tangkap anak ibarat menulis di atas batu, tetapi didik oleh orangtua dan guru yang penuh dengan suasana menekan, mengancam dan mengintimidasi maka pasti akan membuat anak menjadi manusia yang senang membisu dan memiliki jiwa paranoid.

Adalah proses biologi yang alami bila anak terus mengalami pertumbuhan terus, sampai akhirnya mereka memasuki usia pasca masa balita dan terus sampai masa pra remaja. Seiring dengan perubahan tubuh atau perubahan biologis mereka, maka karakter mereka juga berubah. Bila pada masa bayi dan balita, mereka masih memperlihatkan sikap manis dan lucu. Namun dalam masa setelah itu, mereka tumbuh menjadi manusia yang lebih agresif, impulsif- kurang bisa menguasai diri, senang berteriak dan bergerak agresif dalam rangka merespon pertumbuhan jantung, paru-paru, otot dan organ yang lain sering membuat mereka menjadi kontra dengan standar kebijakan guru dan orang tua.

Untuk mencegah gerak mereka yang agresif dan suara mereka mereka yang keras, maka orang tua dan guru melakukan respon yang berbeda- beda. Sebagian orangtua berusaha untuk memahami pertumbuhan dan perkembangan anak dan sebahagian lain malah bersikap dengan sangat otoriter- menghardik, mencela dan memberikan hukuman, dimana pda akhirnya akan melajirkan generasi muda yang senang membisu, pasih dan pemalu.

Di saat anak mengalami pertumbahan dan perkembangan yang pesat ini, walau mereka sendiri mengalami perubahan pola prilaku yang aneh- aneh di mata guru dan orangtua yang belum memahami bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak, mereka mererspon dengan pola kekerasan atau bergaya otoriter maka pastilah akan melahirkan nak- anak dengan perasaan tertindas.

Cukup bervariasi pola mengajar guru- dan juga orangtua- terhadap anak didik sejak masa anak- anak di SD sampai kepada masa remaja di tingkat SMP dan SLTA. Ada guru yang mengajar dengan cara memaksa, serba melarang, serba membantu, mendikte dan tentu ada juga orang tua dan guru yang mendidik anak penuh dengan menghargai, penuh kasih sayang, memberikan simpati dan rasa emphaty mereka. Tentu saja banyak orang tua dan guru akan berkata bahwa berteori tentu lebih mudah dari pada mempraktekannya. To say is easy but to do is difficult. Namun pernyataan ini sedikit bisa disangkal.

Andaikata orangtua dan guru mau selalu belajar dan bisa memahami karakteristik anak sesuai dengan tingkat atau masa pertumbuhannya, maka mereka (kita) tentu akan mengerti mengapa anak pada usia 6 sampai 10 tahun, sebagai contoh, senang berbicara dan berkata dengan gaya menghardik- hardik. Mengapa dalam dalam usia ini mereka bersikap sangat kinestik (lasak)- banyak bergerak dan bersikap tidak tenang. Memahami karakter pertumbuhan mereka akan bisa meredam gejolak emosi guru dan orang tua dalam mendidik.

Mengajar dengan gaya otoriter (menggunakan kekuasaan), atau gaya pseudo demokrasi (demokrasi semu) bagi guru: marah- marah, mencela, mencerca, mengkeritik, akan membuat siswa menutup pintu hati dan pintu fikiran mereka. Anak didik akan kehilangan motivasi, minat dan gairah untuk berintegrasi dengan guru dan orang tua mereka. Mereka berharap agar pembelajaran dan saat- saat yang membosankan agar segera berakhir.

Guru- guru tertentu bisa jadi memiliki cara yang jitu untuk meredam keagresifan sikap mobile atau sikap anak didik. Cara yang mereka terapkan bukan lewat pemaksaan, menekan, atau marah- marah, namun dengan cara memberikan perlakuan khusus: keakraban. Mereka mengerti bahwa anak anak menjadi nakal karena mereka menderita Skin hunger- atau kulit yang lapar terhadap sentuhan. Maka sentuhan tangan guru pada pundak mereka, diikuti senyum dan kata- kata simpati memiliki kekuatan yang besar untuk mengatasi prilaku nakal mereka.

Pembelajaran bagi anak di rumah dan di sekolah, bukan berarti mereka harus mengejar kecerdasan kognitif (kecerdasan otak) semata. Namun juga untuk memacu kecerdasan psikomotorik (keterampilan) dan affektif (sikap). Maka orang tua yang sudah terlanjur untuk membebaskan anak dari pekerjaan rumah- mereka tidak usah memasak, menyapu dan mengurus rumah asal selalu belajar dan belajar agar bisa juara di sekolah- malah akan membuat anak menjadi tidak terampil dan kehilangan tanggung jawab terhadap keluarga dan terhadap dirinya. Untuk itu orangtua perlu mengajar anak untuk rajin belajar namun juga rajin membantu keluarga.

Agar anak memiliki nilai psikomotorik dan affektif dalam hidup maka, sekali lagi, orang tua perlu untuk melibatkan mereka dalam setiap aktivitas kehidupan di rumah. Karena adalah tidak tepat untuk mengkondisikan mereka hanya untuk belajar dan belajar melulu, tanpa pernah memberi mereka tanggung jawab dan mewarisi keterampilan kerja di rumah. Andaikata sang ayah mengelola usaha pertanian, peternakan atau perdagangan, maka idealnya anak perlu dilibatkan dalam mengelola usaha keluarga ini.

Sudah menjadi fenomena pada beberapa keluarga menerapkan konsep "salah didik" dengan cara tidak melibatkan ikut mengurus rumah tangga. Cukup banyak sekarang anak laki- laki dan anak perempuan yang tidak bisa mengurus diri sendiri, tidak tahu cara mencuci, menyapu, memasak apalagi untuk memasak rendang padang. Inilah salah satu kesalahan orang tua yang mana atas nama agar anak bisa sukses di sekolah maka mereka dimanja- tidak diberi pekerjaan mengurus rumah. Tugasnya Cuma belajar dan belajar melulu dan dalam kenyataan malah pketerampilan dan sikap anak menjadi buntu atau lumpuh untuk memiliki keterampilan sosial.

Begitu pula kalau di sekolah, belajar dengan gaya menghafal tanpa mengimplementasikan gaya belajar inquiri (menemui) atau belajar dengan cara berbuat atau learning by doing cendrung membuat siswa miskin dengan nilai keterampilan dan sikap. Untuk mewarisi mereka dengan nilai keterampilan dan sikap yang sesuai dengan norma sosial dan norma agama (dan juga sesuai dengan norma orang timur) maka tentu tidak cukup hanya dengan memberi mereka catatan dan hafalan teori tanpa melibatkan mereka dan memberi mereka model (langsung dari orang tua dan guru).

Pembelajaran BAM (budaya alam minangkabau), agama, bahasa dan budi pekerti yang mana kalau hanya syarat dengan teori tanpa melibatkan mereka dalam aktivitas langsung dengan kehidupan adat, mengggunakan bahasa dan implementasi agama maka nilai yang mereka oeroleh selalu cendrung bersifat kognitif. Metoda pembelajaran yang demikian tidak pernah tepat sasaran yaitu untuk memantapkan nilai keterampilan dan sikap.

Dapat disimpulkan bahwa mengajar anak atau siswa dengan cara menumbuhkan budaya menghargai, memahami pertumbuhan diri anak dan mendidik mereka dengan cara memberikan pelayana prima: senyum, ramah tamah dan penuh keakraban, akan memberikan dampak positif dalam mendidik. Perlu juga diperhatikan bahwa adalah perlu untuk melibatkan anak dalam setiap aktivitas di rumah dan aktivitas dalam pembelajaran di sekolah agar mereka tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga cerdas untuk keterampilan dan sikap sosial. Akhir kata bahwa adalah perlu orang tua dan guru menjadi model bagi anak sebelum mereka terlanjur mencari model ke luar yang penampilan dan budaya mereka cendrung serba aneh.

http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

0 komentar:

TIME IS MONEY

ISLAMIC FINDER