Jumat, 02 Januari 2009

Guru Dalam Sorotan Publik

Guru Dalam Sorotan Publik

Kalau kita melihat sejarah terdahulu, bahkan pada zaman penjajahan sekali pun, kedudukan, dan profesi guru sangat disegani dan dimulyakan. Dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan kemasyarakatan maupun kenegaraan, para guru selalu ditempatkan pada posisi terdepan. Bahkan, dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pun guru selalu berada pada garda terdepan untuk menunjukkan kecintaannya terhadap tanah air dan rakyat Indonesia. Seperti yang kita ketahu, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Imam Bonjol dan Ki Hajar Dewantara pun adalah seorang guru yang disegani.

Sering kita jumpai pada zaman dulu, tidak pernah ada orang tua siswa marah karena anaknya "dihajar". Bahkan, para orang tua siswa selalu berterima kasih bila anak mereka "dihajar" guru karena melakukan tindakan yang melanggar kurang ajar. Harga diri, wibawa, penghargaan masyarakat, dan penghargaan materi pun saat itu sangat memadai bagi guru. Sihingga posisi guru dipandang sebagai posisi yang sangat mulia dan terhormat. Bahkan tidak jarang guru dianggap sebagai manifestasi dari sifat ketuhanan yang berakar dari istilah Rabb.

Dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi sebagai pemindah ilmu pengetahuan (Transfer of Knowledge) dari guru ke murid (top Down), tetapi juga berfungsi sebagai orang yang menanamkan nilai (values), membangun karakter (Character building) serta mengembangkan potensi besar yang dimiliki murid secara berkelanjutan. Guru adalah ujung tombak dalam melaksanakan misi pendidikan di lapangan serta merupakan faktor sangat penting dalam mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien. Oleh karena itu, guru harus bangun dan berdiri dari tidur nyenyaknya yang selalu membanggakan slogan "pahlawan tanpa tanda jasa." Nasib guru adalah di tangan guru. Guru harus bangkit untuk mengubah citra profesionalisme yang mapan baik dalam pengabdian maupun dalam penghidupan kesehariannya.

Karena guru menjadi figur sentral dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar (PBM), maka setiap guru diharapkan memiliki karakteristik (ciri khas) kepribadian yang ideal sesuai dengan persyaratan yang bersifat psikologis-pedagogis. Pemapanan kepribadian guru menuju guru profesional adalah salah satu cara yang tepat untuk bangkit dalam keterbenaman. Dan itu membutuhkan waktu dan perangkat yang cukup matang. Langkah pemerintah yang membuat UU guru dan dosen bisa menjadi langkah solutif untuk mengangkat kembali citra profesionalisme guru dalam masyarakat saat ini.

Guru sebagai revolusioner

Psikolog Pendidikan, Muhibbin Syah (1995) menjelaskan, dalam mengolah Proses Belajar Mengajar guru tidak hanya berorientasi pada kecakapan-kecakapan yang berdimensi ranah cipta (kognitif) , tetapi kecakapan yang berdimensi ranah rasa (afektif) dan ranah karsa sebagai keterampilan hidup (Psikomotorik). Sebab, dalam perspektif psikologi pendidikan, mengajar pada prinsipnya berarti proses perbuatan seseorang (guru) yang membuat orang lain (siswa) belajar, dalam arti mengubah seluruh dimensi perilakunya. Perilaku ini meliputi tingkah laku yang bersifat terbuka seperti keterampilan membaca (ranah karsa), juga yang bersifat tertutup seperti berpikir (ranah cipta), dan berperasaan (ranah rasa).

Menjadi sebuah Karakteristik yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologi. Fleksibilitas kognitif (keluwesan ranah cipta) merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Ia juga memiliki resistensi (daya tahan) terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur (terlampau dini) dalam pengamatan dan pengenalan. Ia selalu berpikir kritis dan selalu menggunakan pertimbangan akal sehat yang dipusatkan pada pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu dan melakukan atau menghindari sesuatu (Heger & Kaye,1990).

Guru yang terbuka secara psikologis biasanya ditandai dengan kesediaan yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor ekstern antara lain, siswa, teman sejawat, dan lingkungan pendidikan tempat bekerja. Ia mau menerima kritik dengan iklas. Ia juga memiliki empati (empathy), yakni respons afektif terhadap pengalaman emosional dan perasaan orang lain (Reber,1988). Itulah di antaranya yang harus dilakukan guru sekarang ini. Jika guru segera bangun dan menanamkan profesionalisme yang tepat dan benar, insya Allah cibiran sebagai masyarakat kelas dua akan sirna. Pengabdian akan mendapat kepuasan dengan hasil kemajuan siswa sesuai harapan. Peningkatan kesejahteraan penghidupan pun akan merangkak tanpa perlu bergantung pada pihak lain.

Pada aspek social masyarakat, guru juga berfungsi sebagai penanam nilai-nilai budaya yang tercipta dalam masyarakat. Guru mempunyai andil besar dalam melestarikan kebudayaan (culture) yang menjadi tatanan nilai dan identitas social. Oleh karena itu, peran guru sangatlah komplek, begitu juga tantangan guru untuk senantiasa mempertahankan eksistensi profesionaitas mereka sangat berat dan komplek pula. Kondisi dan profesi guru yang sekarang sudah tidak lagi dianggap sebagai hal yang prestise dan membanggakan, bahkan guru sekarang dianggap sebagai posisi yang kecil dan termarjinalkan perlu di kembalikan seperti kondisi terdahulu.

Prilaku Guru

Sebuah istilah yang menjadi slogan guru sebagai cerminan bagi anak didik " guru kencing berdiri murid kencing berlari, memberikan pesan moral kepada guru agar bertindak dengan penuh pertimbangan. Ketika guru menanamkan nilai dan contoh karakter dan sifat yang tidak baik, maka jangan salahkan murid ketika berprilaku lebih dari apa yang guru lakukan. Seperti kelakuan bejat guru ketika membocorkan jawaban Ujian Nasional sebagai upaya menolong kelulusan anak didiknya. Memang murid pada saat itu senang, karena mendapatkan jawaban untuk mempermudah mereka lulus. Akan tetapi, saat itu juga guru telah menanamkan ketidakpercayaan murid terhadap guru. Dan pada saatnya nanti, mereka akan jauh berbuat lebih bejat lagi ketimbang saat ini yang guru mereka lakukan.

Pada tahun 2007 ini, gegap gempita kelulusan peserta ujian nasional (UN) di segala jenjang pendidikan nasional tidak kalah heboh dari ketidaklulusannya. Di suatu daerah, guru-guru berkrepribadian tangguh menyoal kecurangan praktek UN. Akan tetapi di beberapa daerah lain justru kuat dan berusaha melindungi kecurangan yang terjadi di sekolah mereka. Masih banyaknya prilaku guru yang sebenarnya menjatuhkan harkat dan citra diri seorang guru pada pelaksanaan UN perlu direspon dengan serius. Lebih parahnya lagi bagi guru yang tidak terima dan melaporkan terjadinya kecurangan di sekolah mereka akan mendapatkan intimidasi dan bahkan ancaman pemecatan dari pihak sekolah atau yayasan. Ada apa ini semua ?

Mengingat standarisasi kelulusan yang dinilai terlalu tinggi oleh banyak guru dan kepala sekolah, menuntut mereka memeras otak untuk mencari langkah jitu meluluskan peserta didik mereka. Sehingga Banyak niat mulia pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dilakukan dengan cara curang. Itu semua dilakukan tidak lebih hanya untuk menjaga citra dan nama baik sekolah mereka. Tidak sedikit kepala sekolah dan guru membentuk tim untuk membantu proses UN mulai dari pemberian jawaban sampai penyeleksian sendiri (perbaikan) sebelum lembaran jawaban dikirim ke panitia UN.

Guru yang profesinya sangat mulia, pendidik nurani bangsa idealnya senantiasa ditiru dan digugu oleh anak didik dan masyarakat. Kalaulah apa yang dilakukan oleh guru dan pihak sekolah adalah tindakan keterpaksaan yang diperintah oleh kepala dinas pendidikan atau kepala daerah mungkin itu masih lumayan. Tapi, kalau demi menaikkan gengsi sekolah, demi menutupi kebodohan mengajar dengan membantu anak didik agar lulus, apakah itu pelecehan dan pembunuhan terhadap potensi anak didik? Dan dimana hati nurani guru sebagai teladan ? bukankah ini merupakan prilaku memberikan contoh kejahatan, dan tindakan seperti itu menanamkan benih potensi tindakan korupsi.

Mental korupsi telah dibentuk oleh guru sejak generasi bangsa duduk di bangku sekolah. Parahnya lagi, yang membentuk karakter itu adalah guru sendiri. Padahal seyogyanya gurulah yang punya peran sentral untuk membersihkan mental koruptor dalam jiwa anak didik. Guru adalah tempat strategis untuk membentuk kepribadian anak bangsa. Jika karakter guru mengarah pada hal yang buruk, maka anak didik yang terbentuk pun akan tidak jauh dari karakter guru. Tapi sebaliknya. Kebiasaan memberikan bocoran jawaban kepada anak didik, berarti telah mengajarkan anak didik untuk korupsi. Kelak ketika anak didik itu menjadi pemimpin, maka tidak menutup kemungkinan dia akan membocorkan dana atau kebijakan yang lainnya.

Namun secara umum kita tidak juga menutup mata terhadap perjuangan beberapa guru yang bathinnya resah, jiwanya terguncang, dan melaporkan kecurangan yang dilakukan oknum guru dan kepala sekolah ke pihak berwenang. Ingatan kolektif tidak mungkin dihapus, bagaimana guru-guru sejati tersebut, mengadu sampai ke DPR RI. Bersasksi di depan sorotan kamera Televisi-televisi nasional, berani menanggung resiko demi kejujuran, kemuliaan dan kehormatan profesi guru. Namun tidak banyak guru bermental satria yang menjunjung tinggi profesionalisme guru.

Kecurangan dalam UN 2007 yang melahirkan gugatan dari praktisi, pengamat, LSM dan tidak jarang juga siswa ikut menggugat kecurangan UN di sekolah mereka. Kisah berakhir happy ending (?). dari hasil gugatan mereka, ternyata pemerintah belum bisa bertindak tegas terhadap para pelaku kecurangan. Sampai saat ini belum satu pun yang terbukti sebagai tersangka pelaku kecurangan pada UN. Jadi, keberanian bersaksi guru-guru berkrepribadian tangguh, murid-murid yang berjiwa satria, tidak mendapat tempat di mahkamah kebenaran. Ternyata kehidupan bangsa ini masih berlangsung sebagaimana sedia kala.

Guru yang digugu dan ditiru

Rumitnya problema kehidupan menentang tiap guru yang mencoba-coba menjalankan "pendidikan moral". Kalau seperti para filsuf positivis, sang guru percaya bahwa hanya Prinsip-prinsip sajalah yang mungkin diajarkan disertai alas an-alasan bernalar, sang guru masih harus menentukan prinsip-prinsip mana yang bisa dijadikan bermakna bagi anak-anak kontemporer (Maxine Greene). Guru mesti menentukan terlebih dulu tindakan-tindakan mana yang mempunyai "gema moral". Karena setiap tindakan guru akan menjadi cerminan anak didik yang melihatnya. Slogan "guru digugu dan ditiru" merupak represantasi dari komunikasi prilaku guru dengan murid setiap harinya.

Tantangan dalam kehidupan guru memang tidak mudah. Hidup dengan gaji kecil, sarana dan prasana pendidikan minim, fasilitas yang mengundang air mata, terkadang dicaci maki dan disumpahserapahi kalau ada apa-apa dengan pendidikan. Pokoknya derita guru adalah tumpukkan kesedihan. Tetapi, tetap tegar berjuang demi profesi mulia. Terlalu murah bila digadaikan dengan kecurangan demi UN. Di akhirat nantinya akan diadili pula karena curang. Lebih parah lagi tanaman psikologis. Bila anak didik berhasil karena tindakan curang guru, UN lulus dengan curang, masuk perguruan tinggi pakai joki, mendapatkan pekerjaan dengan menjogok dan cara-cara curang lainnya. bagaimana kalau dia nantinya menjabat posisi strategis di struktur pemerintahan negera kita (Pemimpin)?

Jadi, saatnya pendidikan Nasional dibersihkan dari guru-guru yang berwatak koruptor dan preman. Mari tinggalkan korupsi pendidikan dan mendidik peserta didik korupsi sejak si bangku sekolah. Yang seharusnya kita kampanyekan kepada anak didik justru pendidikan antikorupsi. Selayaknya posisi guru di barisan terdepan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi, pendidikan anti curang pun digalakkan. Tentunya yang harus diperhatikan dan dibangun adalah mental guru-guru dan pihak sekolah yang lainnya.

Guru yang mempunyai jiwa idealis terhadap nilai-nilai luhur moral, dia akan senantiasa berlaku jujur terhadap semua apa yang dilakukan. Dalam menghadapi UN sebenarnya guru harus proaktif untuk memberikan mutivasi belajar dan mensupport agar anak didik siap menghadapi Ujian Nasional. Sifat sportifitas dan kompetitif yang ditanamkan didalam mental anak didik, akan mencerminkan prilaku mereka kelak ketika mereka hidup dilingkungan masyarakat. Apalagi ketika diantara mereka menjadi pemimpin bangsa. Sikap tauladan yang dicontohkan guru terhadap anak didik dalam menghadapi UN lebih memberikan rasa kepercayaan yang tinggi kepada diri sendiri dan kepada orang lain.

Meningkatkan Profesionalisme

Mengenai profesionalisme, P. Siegart dalam Rahardi (1998) menyebutkan ada tiga sikap dasar bagi individu untuk disebut profesional. Ketiga sikap dasar itu adalah (1) adanya keseimbangan antara sikap altruistik dengan sikap non-altruistik/egoistik dalam diri individu; (2) adanya penonjolan kepentingan luhur dalam praktik kerja keseharian; dan (3) munculnya sikap solider antarteman seprofesi.

Ketiga sikap dasar ini akan menumbuhkan sikap positif terhadap kerja pada diri individu, teristimewa yang mengutamakan kemauan ikhlas untuk bekerja sama dengan sesama teman seprofesi yang disemangati oleh niat melayani dan mengabdi demi tercapainya tujuan luhur sebuah karya, dalam hal ini adalah karya pendidikan yang dibentuk oleh guru dan pihak sekolah secara bersama-sama.

Seringkali terdengar keluhan bahwa sekarang kini semakin sulit mendapatkan tenaga pengajar (guru) yang memenuhi kualifikasi profesionalisme. Bahkan lebih tajam lagi, seorang pakar pendidikan, J. Drost SJ, mengatakan bahwa sekarang di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru (hal. 19).

Berbicara mengenai moral memang tidak dapat dipisahkan dengan profesionalisme seseorang. Keduanya saling terkait secara kausal. Yang satu menjadi akibat bagi yang lain, dan yang satu menjadi penyebab bagi yang satunya. Bagaimana mungkin seorang guru dapat dikatakan profesional apabila tidak memiliki keutamaan moral yang tinggi.

Moral dan profesionalisme juga memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan global dunia kita. Profesionalisme dapat dianggap sebagai suatu akibat dari merebaknya arus globalisasi, dan globlalisasi merupakan suatu sebab munculnya profesionalisme. Di sini, moral menjadi perekat sekaligus penawar hubungan keduanya. Kemudian presionalisme kerja guru menjadi tuntutan, kendati masih sering dirasakan semata-mata obsesi belaka. Seorang guru hendaknya selalu melekatkan dan menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaam sebagai guru di dalam dirinya demi memantapkan kualitas pelayanan dan pengabdiannya kepada pemanusiaan manusia muda.

Kompleksitas permasalahan guru, serta beratnya tanggung jawab yang diemban guru, menuntut peran aktif yang besar dari pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi mereka. Bukan hanya jaminan dan kesejahteraan materi, akan tetapi hukum, kebijakan politik, pembinaan dan apresiasi yang tinggi perlu diberikan kepadanya. Jiwa pendidik dan mental kesatria harus menjadi bagian yang terpatri dalam diri guru. Sehingga mendidik tidak hanya untuk mengejar kesejahteraan dan jaminan social, membiarkan kecurangan UN dilakukan oleh oknum sekolah sendiri, dan berani melawan ketidak adilan yang diciptakan oleh birokrasi pemerintah terhadap pendidikan.

UU guru yang semestinya memberikan jaminan profesi dan jaminan kesejahteraan harus tetap dijadikan salah satu cara meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru. Kita semua berharap optimis pendidikan negeri ini akan mampu diperbaiki ketika semua elemen pendidikan bersama-sama membangun pendidikan bangsa. Kompetisi yang sehat dan sportif diantara sekolah-sekolah peserta UN perlu ditanamkan. Nilai hasil UN bukanlah ukuran mutlak sebagai nilai kualitas pendidikan. Karena dalam prinsip Otonomi pendidikan, MBS dan KTSP yang menjadi perangkat peningkatan mutu pendidikan nasional memberikan kebebasan mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi sekolah/daerah masing-masing.

Jadi, guru tetap harus bersikap professional pula dalam mengahadapi proses dan hasil UN. Walaupun misalkan terdapat beberapa anak didik yang tidak lulus, guru harus mampu memberikan pemahaman terhadap mereka bahwa itu semua hanya merupakan sebuah proses kesucsesan yang masih tertunda. Guru mempunyai peran strategis dalam mengawal anak didik menjadi generasi bangsa yang siap pakai. Selain mendidik untuk kesejahteraan pribadi dan keluarga, guru juga peka terhadap kondisi

Nama & E-mail (Penulis): Moh Fauzi Ibrahim

0 komentar:

TIME IS MONEY

ISLAMIC FINDER