Jumat, 02 Januari 2009

Feodalisme Pendidikan dan Pendidikan Feodalisme

Feodalisme Pendidikan dan Pendidikan Feodalisme

SALAH satu pertanyaan besar dalam system pendidikan nasional kita adalah mampukah pendidikan menyesuaikan dengan keadaan dan perkembangan jaman? Pertanyaan ini sangat relevan mengingat pendidikan kita juga termasuk sasaran pelaku korupsi yang pada gilirannya membangkrutkan mutu kecerdasan siswa.

Hirarki dalam kelembagaan pendidikan cenderung melanggengkan sikap feodal, menumbuhkan sikap aristokrat daripada sikap demokrat. Pendidikan tidak hanya mempersiapkan anak menjadi manusia mesin atau automaton seperti dikatakan Erich From. Di bawah hegemoni kekuasaan sistem pendidikan juga akan melahirkan para 'agen intelektual' atau Commissars , menurut Noam Chomsky, yang hidupnya bergantung dan caranya melayani kepentingan atau memenuhi kebutuhan penguasa. Tugas para 'agen intelektual adalah mereproduksi pengetahuan atau kebenaran para penguasa.

Kaum yang skeptis juga prihatin dengan sifat deskriminatif dan formalisme pelembagaan yang mengakibatkan banyak anak yang tidak bisa belajar. Hanya anak yang bisa memnuhi persyaratan formal yang ditentukan yang boleh belajar di sekolah. Komersialisasi, yang menjadikan sekolah sebagai komoditas, merupakan faktor lain yang mendukung berlakunya deskriminasi pendidikan. Keprihatinan ini mengingatkan pada kritik Ivan Illich tentang sistem sekolah yang hanya menjadikan para siswa tidak bedanya dengan sapi perah. Hanya anak yang siap diperah keuangan (orang tua)nya yang boleh duduk di bangku sekolah. Perlakuan deskriminatif di balik penyelangaraan pendidikan formal yang kemudian menyinggung rasa keadilan kaum pembaharu pendidikan.

Masih panjang rentetan kritik dan analisis yang memperlihatkan kondisi yang memperlihatkan dari sistem pendidikan. Bagi kaum skeptis sudah jelas bahwa ketika kritik hanya menjadi penunggu tong sampah, sama artinya penyelenggara pendidikan formal telah mengabaikan kehendak masyarakat. Tidak berlebihan kalau kemudian masyarakat yang merasa diabaikan menilai Negara telah gagal memberikan pelayanan pendidikan tebaik bagi masyarakatnya.

Kita tidak perlu menyangsikan bahwa masyarakat memiliki kekuatan tersembunyi yang tidak banya sekadar mengontrol Negara, melainkan mampu mengambil alih legitimasi kekuasaan Negara. Ketika Negara hanya mandeg pada kepentingan kekuasaan atau malah momperkokoh pertahanan status quo pada saat itu masyarakat akan memperlihatkan .gerak pembaharuan sendiri. Demikian halnya masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini pun menggeliat, berupaya menembus tembok kemandegan dengan membangun sendiri strategi baru untuk pembaruan pendidikan. Mereka tidak lagi sekadar menunggu perubahan dari atas. Pembaruan tidak cukup hanya di upayakan dengan penyampaian kritik, tapi sebaliknya kritik akan menjadi berdaya guna pada perubahan kalau dimulai dengan tindakan. Dengan kemauan dan kemampuan yang ada kelompok-kelompok masyarakat berupaya membangun model-model pendidikan sendiri.

Berbagai model pendidikan, entah yang kemudian menamakan 'pendidikan allernatif, 'sekolah bebas', Sanggar, tersebar sebagai sentra pendidikan yang dibangun atas dasar dengan kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan, terutama dari segi finansial. Fenomena itu mengingatkan pada gagasan Ivan Olich tentang 'de-sekolah-isasi' bisa dibaca sebagai pesan yang mengatakan bahwa transformasi pengetahuan dan sosialisasi tidak hanya menjadi monopoli sekolah. Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan terselenggarakan oleh siapa saja. Formalisme kelembagaan menjadi relatif.

Fenomena itu sekaligus merontokkan bangunan arogansi dan hegemoni, menjungkir balikkan dominasi Negara. Negara bukan lagi menjadi satu-satunya kekuatan yang paling legitimet untuk membangun kualitas bangsa. Negara dianggap telah kehilangan legitimasinya karena kegagalannya melakukan perbaikan kualitas pendidikan untuk masyarakat. Sentra legitimasi pendidikan mulai tersebar di beibagai kelompok atau komunitas masyarakat. Saat ini mungkin belum begitu terasa, tapi bukan tidak mungkin sentra legitimasi pendidikan aka semakin kuat bergeser ke kelompok-kelompok masyarakat Kepercayaan diri masyarakat yang selama ini tersingkirkan oleh dominasi dan deskriminasi Negara mulai tumbuh menjadi kekuatan untuk bangkit membangun ruang-ruang belajar sendiri.

Sudah semestinya fenomena geiakan pembaruan pendidikan diterima dengan pandangan positif sebagai sebuah kritik produktif. Penyebaran sentra kekuatan pendidikan mewujudkan heterogenitas, menjadikan pendidikan tidak lagi bersifat monolitik. Pembaruan yang dimulai dan berkembang di kelompok-kelompok masyarakat merupakan kemajemukan yang memecah sentralisasi. Gerak pembaruan yang ada di masyarakat tidak perlu dipandang sebagai seteru. Karena pembaruan menunjukan potensi otentik masyarakat dalam membangun sebuah kebudayaan, upaya membangun citra manusia.

Pendidikan tidak berujung pada kepentingan Negara atau juga pendidikan tidak mengarahkan setiap individu tunduk pada kepentingan sosial seperti tesis Jean Jacques Rosseou tentang kontrak sosial. Visi gerakan pembaruan pendidikan mengarah pada gagasan Leo Tolstoy yang memahami pendidikan sebagai kebudayaan; ruang yang berisi nilai-nilai luhur yang abstrak sekaligus aneka pengetahuan dan kemampuan menghadapi pelbagai persoalan hidup bersama baik untuk saat kini maupun mendatang. Dengan konsepsi itu, maka gerakan pembaruan pendidikan tidak bermaksud menafikan persoalan-persoalan fisik, keterampilan, dan intelektualisme. Dalam pendidikan alternatif persoalan-persoalan itu tetap perlu. Hanya persoalannya sejauh mana kemampuan menguasai persoalan-persoalan intetektualitas dan indrawi itu tidak mengasingkan anak-anak dari citranya sebagai manusia yang mengenal nilai-nilai; kebaikan, kejujur, keadilan, keindahan dan lainnya. Bagi kelompok masyarakat pembaharu bicara tentang pendidikan adalah bicara tentang proses pertumbuhkembangan manusia, bukan bicara tentang manusia harus bisa apa. Setiap gagasan tentang pendidikan senantiasa bertolak dari pemahaman tentang manusia yang berdimensi individual-sosial (JohnDewey).

Pendidikan menjadi berkualitas kalau dibangun atas dasar pemahaman yang baik tentang citra manusia dan bertujuan membantu setiap peserta didik bertumbuhkembang sebagai mahkluk integral, manusia utuh dengan segala dimensinya. Oleh karena itu perhatian utama pendidikan alternatif dalam upaya mencapai tujuan tidak terletak pada pengetahuan apa yang seharusnya. dikuasai peserta didik, melainkan bagaimana peserta didik akan menggunakan pengetahuannya.

Menurut Freife manusia utuh adalah manusia konkret yang ada dalam konteks bersama dengan alam dan sesama manusia lainnya. Konkret tidak hanya berarti bersifat ragawi terjamah, tetapi juga memiliki kesadaran sebagai kemampuan untuk menentukan nilai kebenaran. Masih menurut Preire kesadaran adalah potensi otentik tentang nilai-nilai keluhuran manusia yang sifatnya universal. Kaum tertindas dan kaum penindas adalah kaum yang sama-sama kehilangan otentisitas kesadarannya. Keduanya sama-sama kehilangan citra luhur kemanusiaannya (dehumanisasi ). Perbedaannya, kaum tertindas kehilangan citra kemanusiaannya karena otentisitas kesadarannya ditundukkan oleh kaum penindas.

Tanpa bermaksud memutlakkan, karena menyadari perbedaan sejarah, budaya dan konteks sosio-antropologis) kaum skeptis meletakkan gerak pembaharu pendidikan pada pandangan humanis. Langsung atau tidak, pandangan gerakan pembaruan pendidikan mengacu pada gagasan para pemikir romatis seperti Jean Jacques Russeou, pedagog humanis-revolusioner seperti John Dewey, Ivan fliich, Paulo Freire) termasuk Ki Hadjar Dewantara. Sumbangan konsep atau gagasan para pedagog melengkapi pemahaman tentang ide pemabaruan pendidikan.

Radikalitas gerakan pembanu pendidikan bisa dilihat konsistensi sikap dalam menghentikan penyelenggaraan pendidikan Negara yang dinilai kontra produktif. Bukan hanya visi yang baru, tapi implementasi praksis pendidikannya pun didasarkan pada pendekatan yang cukup humanis.

Penulis: YANTO
Mahasiswa FE Universitas Muhammadiyah Malang

0 komentar:

TIME IS MONEY

ISLAMIC FINDER